Kehadiran alat musik bundengan ke Australia, tepatnya Sydney dan Melbourne, tak hanya menjadi momen langka perjumpaan publik dengan alat musik yang nyaris punah ini. Momen ini juga membukakan mata dan berbagai kesempatan bagi tiga seniman lokal asal Wonosobo, penggiat seni bundengan, terhadap beragam eksplorasi yang bisa digali. Tim Buset berhasil mewawancara Mulyani, Said Abdullah, dan Luqmanul Chakim di sela-sela pementasan.

Mulyani: Bukan Guru Biasa

Di antara tumpukan peralatan rias dan kesibukannya merias mata serta alisnya, Mulyani atau yang sering disapa Ibu Mul tetap bersedia menjawab pertanyaan dari Buset. Rambutnya masih tergerai saat ditanya soal sejak kapan ia berkomitmen merawat seni bundengan lewat yayasannya, Ngesti Laras. Rupanya kecintaannya berawal dari keprihatinannya pada nasib regenerasi pelaku seni bundengan yang hanya tinggal tiga orang saja. Di antaranya, hanya Pak Munir dan Pak Buchori, seorang pemain ahli bundengan, serta Pak Mahrumi pembuat bundengan.

Mulyani yang juga berprofesi sebagai guru seni budaya SMP Negeri 2 Selomerto Wonosobo, kemudian mencoba memperkenalkan bundengan lewat pendidikan. Ia bersama rekan-rekan pengajar dan pemerhati budaya memasukkan bundengan ke dalam kurikulum sekolah. “Mulai tahun 2015 kami perkenalkan bundengan lewat pendidikan. Di SMP tempat saya mengajar ada 100 alat musik bundengan,” bebernya. Tak hanya mendorong anak-anak muda memainkan alat musik bundengan, Mulyani mendekatkan generasi muda lewat kerajinan tangan, seni tari, dan seni membatik yang berhubungan dengan Bundengan. Seperti ketika ia hendak naik pentas, ia dengan bangga memamerkan kain batiknya yang bermotif bundengan buatan pengrajin lokal Wonosobo binaan yayasannya. “Cita-cita saya sederhana saja, saya tidak ingin anak muda merasa asing dengan bundengan,” tegas Mulyani yang mengaku baru pertama kali pentas di luar negeri ini.

Said Abdullah dan Luqmanul Chakim: Ada Masa Depan untuk Bundengan

Said Abdullah masih berusia 25 tahun dan Luqmanul Chakim kini berusia 24 tahun. Mereka berdua sama-sama berasal dari Wonosobo. Performa mereka di panggung tampak cair dan akrab. Pantas saja, sebelum sama-sama menekuni alat musik bundengan, mereka tergabung dalam satu band beraliran jazz. Keduanya adalah wajah-wajah masa depan di antara sekitar 20 anak muda lainnya yang kini aktif melestarikan bundengan.

Sejak kapan kalian mulai tertarik dan belajar memainkan alat musik ini? 

Said: Saya tahu bundengan baru sejak tahun 2014 dan baru mau belajar ketika tahun 2016. Waktu itu saya menemukan artikel tentang bundengan di media sosial. Saya langsung penasaran dan menemui narasumbernya. Waktu itu saya bertemu dengan Pak Hengki lalu kemudian bertemu Pak Munir dan Pak Buchori yang sudah sangat lama menggeluti bundengan.

Luqman: Buat saya perkenalan saya dengan bundengan itu “kecelakaan”. Waktu itu saya diajak workshop pembuatan bundengan di Pendopo Wonosobo oleh Said. Dari sana saya bertemu Rosie Cook yang waktu itu sedang meneliti tentang bundengan dan membutuhkan penerjemah. Akhirnya saya turut membantu. Jadi ya saya mulai bermain bundengan sejak tahun 2016.

dari kiri: Said Abdulla, Mulyani, Luqmanul Chakim

Sulitkah memainkan bundengan? Apa saja tantangannnya? 

Said: Sama saja seperti alat musik lainnya, punya cara tersendiri memainkannya. Secara tradisional, bundengan memang belum baku. Ada notasi, tapi lebih tepat disebut timbre.

Luqman: Buat saya memainkan alat musik ini tidak ada pakem, jadi orang bebas menginterpretasikan cara bermainnya. Saya sendiri suka memainkan musik trance dengan alat musik ini untuk mendekatkan dengan anak-anak muda, meski memang keluar dari tradisi. Tapi bagi saya bundengan itu fleksibel dan memungkinkan banyak eksplorasi.

Selama dua tahun menekuni alat musik ini, apakah kian memantapkan hati kalian untuk melestarikan bundengan?

Said: Sepertinya ini sudah jalan kami ya, kami diberi jalan untuk melestarikan bundengan. Saya sendiri merasa ada banyak hal yang bisa dieksplorasi dari alat musik ini. Menurut saya secara anatominya masih sangat riskan, terutama pada bagian string-nya. Saya butuh waktu lama untuk tuning. Jadi saya rasa ini adalah tantangan berikutnya, bagaimana merekonstruksi alat musik ini agar kokoh dan stabil.

Bagaimana kesan-kesan kalian setelah berhasil tampil di Sydney dan Melbourne?

Said: Wah luar biasa sekali apresiasi orang-orang di sini. Dukungan mereka sangat besar terhadap alat musik ini.

Luqman: Kita memang dari dulu mencoba memperkenalkan bundengan di dalam negeri dan sekarang dapat kesempatan untuk tampil di luar negeri, tentu jadi pengalaman luar biasa. Meski begitu ada juga kesedihan, karena ketika kita memperkenalkannya di Wonosobo banyak orang yang tidak terlalu tertarik dan sadar dengan keunikannya. Sedangkan di sini, penerimaannya begitu dahsyat. Kita di sini dengan mudah dibahagiakan oleh orang-orang yang begitu apresiatif, tapi di sisi lain sedih juga jika mengingat dengan respons yang sering kali bertolak belakang di negeri sendiri.

Adakah proyek yang akan berlangsung dalam waktu dekat?

Luqman: Selama di Australia kita banyak berkolaborasi dengan musisi kontemporer. Saya jadi melihat ternyata ada masa depan yang cerah untuk bundengan. Perjalanan kita ke Australia ini membukakan mata kita untuk beragam eksplorasi. Belum lagi banyak yang tertarik mengundang kita untuk pentas di negara mereka. Semoga saja kita bisa kembali ke Australia lagi untuk mewujudkan kolaborasi-kolaborasi selanjutnya. Sedangkan di dalam negeri, kita akan tetap memperkenalkan bundengan di Wonosobo dan di berbagai daerah lain. Lewat Making Connections Project milik Rosie Cook, kita akan memperkenalkan alat musik ini di level lokal, nasional dan internasional.

Said: Saya sendiri juga sekarang mengajar bundengan di Al Madina Boarding School di Wonosobo.

 

 

 

Deste
Foto: WinduKuntoro