Membuka dengan Teror Horor

Ayu Laksmi berbincang dengan Peter Krausz

Malam pembukaan Indonesian Film Festival (IFF) 2018 jatuh pada hari Kamis. Malam Jumat. Entah disengaja atau tidak, Pengabdi Setan dipilih untuk membuka festival yang menginjak usia 13 tahun.  Meski begitu, tak perlu dikaitkan dengan hal-hal mistis, film remake dari film berjudul sama di tahun 1980 ini, memang pantas jadi pembuka jika dilihat dari prestasi komersialnya. Film karya Joko Anwar ini menjadi film Indonesia terlaris sepanjang tahun 2017 dan masuk urutan ke-5 sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa.

Film yang diliris 7 November tahun lalu tak cuma menghebohkan publik Indonesia, tapi hingga Hong Kong dan Malaysia. Sebagai catatan, Pengabdi Setan juga menjadi box office di kedua negara tersebut. Maka tak mengherankan jika publik Melbourne, terutama orang-orang Indonesia di Melbourne yang masih penasaran dengan euforia film ini, begitu bersemangat ketika panitia IFF 2018 mengikutsertakan Pengabdi Setan dalam festival dan bahkan menjadi pembuka.

Menempati studio dengan kapasitas paling besar di ACMI, Pengabdi Setan berhasil memuaskan rasa penasaran penontonnya. Meski malam itu Pengabdi Setan tidak sold out, film ini terbilang ramai ditonton. Kehadiran Ayu Laksmi yang bermain gemilang sebagai Ibu juga dinanti-nanti. Setelah film diputar, kritikus film Peter Krausz memandu sesi tanya jawab dengan Ayu Laksmi selama kurang lebih 30 menit. Ada satu pertanyaan yang menggelitik dari penonton, menanyakan pada Ayu apakah selama menjalani proses syuting pernah merasa takut? Penyanyi sekaligus aktris asal Bali ini pun mengaku bahwa di hari pertama ia syuting, ia membiarkan lampu menyala saat hendak tidur. “Sama seperti kalian, saya juga punya rasa takut,” ungkapnya.

Timur Dapat Porsi Penting

Tahun ini ada enam film yang ditayangkan sepanjang gelaran IFF Australia 2018 yang berlangsung dari 26 April hingga 2 Mei 2018. Tema tahun ini adalah Spectrum of Narratives. Selain Pengabdi Setan, tiga film yang diputar berbicara soal timur Indonesia yang dari dulu jarang tersentuh. Isu yang diangkat pun terbilang beragam, meski sama-sama fokus di area timur. Di antaranya film dokumenter karya Jay Subyakto, Banda: The Dark Forgotten Trail, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, dan Salawaku.

Konferensi pers (dari kiri): Jay Subyakto, Ayu Laksmi, Marsha Timothy, Spica Tutuhatunewa, Karina Salim, Lintang Gitomartoyo, B.W Purbanegara

Saat menonton dokumenter Banda, tim Buset duduk bersama sepasang muda-mudi dari Rusia dan seorang perempuan asal Yaman. Setelah selesai menonton, mereka antusias melempar pertanyaan pada Buset tentang Indonesia. “Dimana sebenarnya Banda itu?”, “Seberapa besar sebenarnya negara kamu?” Boleh dibilang ini adalah sukses Jay Subyakto yang berhasil menggiring penontonnya untuk berdiskusi lebih jauh tentang Indonesia. Dan terbukti film masih jadi medium yang ampuh untuk membuka dialog dan menjembatani pemahaman.

Selain didominasi film-fim yang berututur soal Indonesia Timur, satu film lagi yang juga mengusung nilai lokal. Kali ini datang dari Ziarah (Tales of Otherwords) yang disutradarai oleh B.W. Purba Negara yang turut hadir di Melbourne. Sepanjang film, para pelakunya bertutur dalam bahasa Jawa. Bahkan film ini memperlihatkan betapa kayanya bahasa Jawa, karena setiap tingkatan punya tata bahasa tersendiri.

Sensasi Menonton Hasil Restorasi

Satu film penting milik Indonesia dari tahun 1954 dan disebut-sebut jadi film terbaik Inonesia sepanjang masa yang telah berhasil direstorasi, Lewat Djam Malam (After The Curfew), juga mampir ke Melbourne. Menurut pengamatan Buset, film ini seharusnya mendapat porsi penjelasan lebih baik lagi, mengingat banyak yang salah memahami film ini. Banyak yang mengira film ini dibuat ulang (remake). Berkat IFF Australia 2018, publik Melbourne mendapat kesempatan menonton versi asli film karya Usmar Ismail yang sudah direstorasi alias dikembalikan ke kondisi semula. Tetap hitam putih dan tetap dibintangi oleh bintang-bintang aslinya. Film ini dibuat tahun 1954 tapi memuat kompleksitas cerita yang dalam dan masih relevan hingga sekarang. Pantas menyandang julukan film klasik Indonesia!

Butuh Banyak Penonton Lokal

Dalam sesi konferensi pers yang berlangsung di KJRI Melbourne 28 April 2018, ada beberapa pertanyaan bagus dari tamu yang hadir. Salah satunya adalah, dimana sebenarnya Hollywood-nya Indonesia? Indonesia memang tidak memiliki lokasi khusus layaknya Amerika Serikat, India, bahkan Korea Selatan dengan Busan-nya. Namun kini ada beberapa lokasi yang menjadi populer karena film, salah satunya Yogyakarta yang disebut dalam konferensi pers.

Pendanaan dari pemerintah juga menjadi highlight pertanyaan hari itu. Apalagi panelis yang hadir, seperti Jay Subyakto (Banda) dan B.W. Purba Negara (Ziarah) banyak bergerak di pusaran independen. Artinya, lebih banyak melakukan pendanaan sendiri. Namun, Lintang Gitomartoyo dari Haji Usmar Film Center (PPHUI) yang datang mewakili film Lewat Djam Malam menegaskan bahwa biasanya proyek film sudah mendapatkan pendanaan secara mandiri, tanpa campur tangan pemerintah. Yang dibutuhkan adalah sistem dari pemerintah agar perfilman nasional tetap bergulir, berproduksi, dan berdaya saing.

Salah satu PR yang perlu menjadi perhatian untuk perhelatan IFF di tahun – tahun mendatang adalah harus semakin gencar mewartakan festival film Indonesia ini lebih luas lagi ke publik Melbourne. Tak hanya ke komunitas masyarakat Indonesia yang bermukim di Victoria tapi juga masyarakat Victoria khususnya Melbourne. Sungguh sayang jika festival ini hanya jadi ajang penawar rindu bagi masyarakat Indonesia di Melbourne, tapi lupa menjadikannya jembatan untuk memperkenalkan Indonesia ke audiens lokal. Media-media asing perlu dilibatkan aktif. Gerilya informasi pun juga harus rajin disosialisasi lewat berbagai kanal. Semoga saja IFF bisa terus menjadi perekat – tak hanya untuk mempertemukan penonton dengan film-film Indonesia, tapi bagi berbagai pengetahuan tentang Indonesia – yang mungkin sebelumnya tak pernah terekspos.

 

*** 

Berusaha Mendobrak Lewat 4th Wall

Bagi para pecinta film tentu familiar dengan konsep “breaking the 4th wall”. Saat menonton film, diibaratkan bahwa dinding keempat adalah dinding yang memisahkan antara penonton dengan pemain dalam film. Nah, meruntuhkan dinding keempat ini biasanya dilakukan dengan cara, tokoh dalam film seolah-olah berinteraksi dengan penonton di dunia nyata. Entah itu berbicara sambil menghadap ke kamera, seakan-akan sedang berbicara dengan kita – sang penonton – atau mengungkapkan isi hatinya dengan diri sendiri.

Konsep atau gaya inilah yang sepertinya berusaha diadopsi oleh IFF. Ini adalah kali kedua mereka mengadakan talkshow dan diberi judul 4th Wall. Tahun ini bintang yang dihadirkan dalam acara bincang-bincang santai di antaranya, Jay Subyakto, Ayu Laksmi, dan Karina Salim. Acaranya terbilang fun karena diselingi berbagai games dan alunan musik, termasuk kehadiran MC yang juga bernyanyi, memandu acara, dan melawak. Begitu juga dengan Ayu Laksmi yang unjuk kebolehan menyanyi. Meski begitu bukan berarti acara ini tidak berusaha “mendobrak” bahasan-bahasan yang lebih serius. Jay Subyakto misalnya, yang sudah malang melintang di industri kreatif dan jagat hiburan Indonesia, prihatin terhadap urusan sensor. Bukan sensor yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga sensor, tapi ormas-ormas tertentu yang tidak suka jika Indonesia lebih beragam.

Salah satu penonton yang setia mengikuti acara dari awal hingga akhir, Diana Pratiwi, mengungkapkan bahwa keresahan yang diutarakan Jay seharusnya jadi perhatian bersama. “Mas Jay kan bilang, bahwa keragaman sesungguhnya memberi keseimbangan, tapi sekarang ini situasinya sedang menyedihkan di Indonesia,” ungkapnya.

Geliat para pekerja film independen Indonesia tak hanya disinggung saat konferensi pers, tapi juga dalam acara  4th Wall yang dilangsungkan di Carlton pada 27 April 2018 lalu tersebut. Film independen yang biasanya menyentuh berbagai isu yang bisa dibilang tabu dan menyentil – bahkan kerap dilarang tayang di bioskop besar – memiliki tempat tersendiri di antara bioskop dan komunitas independen yang mulai bertumbuh.

Semoga publik Australia semakin familiar dengan film-film karya anak bangsa dan begitu pula sebaliknya, semoga anak muda Indonesia terus bergerilya menghasilkan karya dan menembus kancah internasional. Karena bagaimanapun, wajah film nasional adalah wajah Indonesia.

 

*** 

Apa Kata Mereka – Pengabdi Setan

Alvin Basuki

Keseluruhan filmnya menarik. Jump scare-nya bagus dan menurut saya elemen-elemen horornya cukup berhasil. Saya memang suka film horor, dan ini film horor Indonesia paling seram menurut saya.

 

Fenny

Saya memang sudah lama penasaran ingin nonton Pengabdi Setan, karena saya lihat ratingnya pun tinggi dan berhasil mendapat banyak penonton. Menurut saya sih seram dan sesuai ekspektasi.

 

 

Apa Kata Mereka – Banda

 Konsul Jenderal RI untuk Melbourne, Spica Tutuhatunewa

Film dokumenter ini bagus sekali untuk ditonton. Seberapapun pahitnya, kita harus jujur dengan sejarah bangsa sendiri.

 

 

Apa Kata Mereka – IFF Australia 2018

 Diana Pratiwi

Walau Festival ini sudah berusia 13 tahun, tapi harus selalu meningkatkan diri. Saya lihat tiap tahun targetnya lebih condong ke orang Indonesia yang tinggal di Melbourne. Oke-oke saja, tidak ada masalah, saya sendiri senang menonton film-film yang disuguhkan. Tapi ada baiknya mulai dipikirkan untuk menarik audiens lebih besar dan banyak lagi. Ada baiknya meningkatkan promosi tak hanya ke warga Indonesia, tapi warga Australia secara keseluruhan. Bisa saja iklannya masuk ke koran-koran seperti The Age atau Herald Sun. Dan tak hanya iklan, kalau bisa ada artikel feature di koran-koran Melbourne.

 

 

 

 

 

 

Deste