Bagi Anda yang rajin hadir dalam acara-acara komunitas Indonesia tentu sudah tak asing lagi dengan Diana’s Kitchen, layanan katering khas Indonesia milik sepasang suami istri, Diana dan Abdul Razak Baswedan. Mulai dari pie rendang, nasi kuning, nasi bakar, dan sederet menu lainnya selalu jadi primadona.

Pada 7- 9 Desember 2018 lalu Abdul Razak dan Diana berpartisipasi dalam World Rice Festival. Diana’s Kitchen menjadi satu-satunya vendor makanan yang menjajakan sajian khas Indonesia di festival ini. Melalui proses dan seleksi yang ketat, Diana’s Kitchen tembus menjadi vendor di tengah-tengah dominasi kuliner Thailand, Malaysia, FIlipina, Vietnam, India, dan lain-lain. “Kita satu-satunya (vendor Indonesia). Kebetulan persyaratan dari City of Melbourne berat, karena mereka melihat pengalaman dan mempunyai datanya di online tentang sistem perizinan sebuah vendor,” jelas Abdul Razak yang sempat punya dua restoran Indonesia di kawasan pusat kota Melbourne dan Brunswick.

Abdul Razak dan istrinya, telah bergelut di bisnis kuliner sekitar 16 tahun lalu. Saat merantau ke Melbourne, ia tidak memulai kariernya dari dapur, tapi malah dari bisnis kos. Kos yang ia miliki diisi 20 anak. Dari situ ia dan istri kerap membuat makanan untuk mereka. Inilah cikal bakal kehadiran Diana’s Kitchen.

Tak hanya menuntaskan kerinduan warga Indonesia pada rasa masakan rumah, tapi misi lebih besarnya Abdul Razak ingin agar masakan Indonesia mendapat tempat di Melbourne. Maka dari itu ia mendorong agar banyak pemilik bisnis kuliner Indonesia untuk rajin mengikuti festival. Ia memiliki prinsip untuk tidak takut dalam mengambil risiko untuk berani maju dalam mengikutsertakan bisnis kulinernya dalam festival seperti ini.

Menurutnya, tujuan utama untuk ikut terlibat dalam festival bukan semata-mata untuk keuntungan finansial. “Kita bukan cari untung, tapi mencari pelanggan. Orang itu bukan beli satu, kalau dia cocok, satu dua orang akan membawa kembali temannya,” ungkapnya.

Mengurai Masalah Kuliner Indonesia di Australia

Sejak Januari 2018 lalu, Abdul Razak Baswedan dipercaya memangku jabatan sebagai ketua Indonesian Culinary Association in Victoria (ICAV). Pasalnya, meski citarasa masakan Indonesia tak kalah dengan negara lain namun masih kalah populer dibanding restoran Korea, Vietnam, Thailand, dan bahkan Malaysia di Melbourne. Potensi kuliner Indonesia besar untuk berkembang, karena itulah ia berharap melalui ICAV, para pelaku di industri ini bisa saling membangun satu sama lain. “Jangan sampai restoran Indonesia diganti dan didominasi restoran lain,” pesannya.

Memang tidak mudah menjalankan bisnis kuliner di Australia yang secara regulasi begitu ketat dan butuh modal yang tidak kecil. Restoran Indonesia yang tercatat berjumlah sekitar 40 restoran kebanyakan masih membidik target mahasiswa. Restoran premium dining dan mid dining Indonesia nyaris tidak ada di Melbourne. Selain itu perlu dipikirkan adanya standarisasi menu, kualitas rasa, dan presentasi (selengkapnya baca artikel Buset edisi Februari 2018, “Segudang PR Kuliner Indonesia di Victoria”).

Ia berharap berbagai tantangan kuliner ini bisa diatasi dengan bersatunya para pelaku industri kuliner untuk memajukan khazanah kuliner nusantara di negeri Australia. Lagipula pada akhirnya kebahagiaan seorang pemilik restoran atau rumah makan sebenarnya sederhana, apabila seseorang menyukai makanan kita dan mau kembali lagi. Dan bagi pelaku kuliner di negeri orang, kebahagiaan ini akan bertambah jika apresiasi terhadap masakan Indonesia datang dari orang yang bukan berasal dari Indonesia.

 

 

 

 

Adisa